Setelah 2 bulan kerja,  aku baru sadar kalo kebiasan being too phlegmatic itu juga ga baik.
Sebagai gambaran, kekurangan seorang plegmatis adalah indecisive and submissive
sebenarnya, jadi plegmatis itu ga salah. Karena si koleris pasti butuh si plegmatis, untuk membuat keseimbangan dalam ritme yang ingin dibuat oleh si koleris
.
Entah bagaimana mulainya, semenjak smp jenis perlombaan yang kuikuti bukanlah olimpiade mapel eksak, melainkan lomba debatt ilmiah. Yah walaupun namanya ilmiah, tapi ternyata tetap ada jiwa jiwa debater yang tumbuh, fortunately bisa memberikan bobot yang cukup untuk menyembangkn neraca hidupku yang terlalu berat ke bagian "damai, dan pengalah" ini.
Aku sangat senang.
Semua berlanjut hingga SMA. Aku masih bertahan menjadi si offensive phlegmatic. Hal tersebut dipertahankan saat menjadi waka ekstern pushed me to be more offensive (in a good way). Terbiasa menjadi second man di organisasi ini, mendorongku harus paham secara holistik kondisi dan posisi yang sedang kami hadapi. Pemahaman itu yang membuatku percaya diri dengan keputusan yang aku ambil dan bisa menjadi offensive disaat saat yang tepat.
Ibaratnya kalau dalam lomba debat, aku tau side mana yang aku pilih, dan argumen pendukung yang aku butuhkan semua sudah ku pegang.
Tahun berlalu, dan ketika masuk ke masa kuliah ternyata aku benar benar memiliki brand new days. Udah ga ada lagi ekspektasi orang yang bikin aku g boleh missed satu hal pun. Aku bebas define upik seperti apa yang ingin diperankan.
Dan tanpa sadar, alam bawah sadarku ingin membawa upik kembali ke nature nya. Upik yang menghindari konflik, upik yang totally plegmatis sanguinis pun kembali muncul. 5 tahun berlalu, BAAM sepertinya semuanya sudah terlanjur masuk kedalam dnaku. Ditranskripsi dan di translasi menjadi sebuah kode yang ga akan pernah meninggalkan jiwa ini.
Yah sedih sih memang. Aku butuh jiwa offensive ku akhir akhir ini.
But anyway, setelah menulis ini aku sadar, bahwa sebenernya sebenarnya nature seseorang ga akan pernah berubah. Upik yang plegmatis sudah ada dari dulu dan tetap ada hingga sekarang. Hanya saja sepertinya, upik masa SMP dan SMA sepertinya lebih paham tentang apa yang dia jalani saat itu daripada upik saat ini yang sedang meraba apa yang sedang dia lakukan. Jadi kalo dulu berani ngotot pastinya ya karena udah tau mana yang benar dan mana yang salah. Meanwhile sekarang, karena semua hal terasa baru, apabila ada masalah, maka perlu waktu tambahan untuk interlink masalah masalah lain, untuk initial impact assessment, dan lain lain, yang tentu saja harus dilakukan secepat mungkin, dan nyatanya belum bisa secepat itu. Sehingga berakhir menjadi seseorang yang submissive.
Tapi sebenernya, kalau ada niat pasti ada jalan kan? Jadi intinya adalah asalkan mau usaha lebih untuk mengetahui masalah dan kondisi ideal apa yang harus dicapai, maka seplegmatis2nya seseorang, dia akan bisa menjadi offensive jika itu memang dibutuhkan untuk mencapai sebuah kondisi yang peaceful (tentu saja ini tetap tujuan utamanya).
Semoga benih yang pernah tertanam dulu bisa kutemukan, dan menyelamatkan ku di dunia prfsinlism yang kejam ini. hahaahahahahahha.
Desclaimer being phlegmatic and sanguinis is never be an ultimate issue. we just need to adjust the level of tolerance we offer to others :) stay strong fellas
Sebagai gambaran, kekurangan seorang plegmatis adalah indecisive and submissive
sebenarnya, jadi plegmatis itu ga salah. Karena si koleris pasti butuh si plegmatis, untuk membuat keseimbangan dalam ritme yang ingin dibuat oleh si koleris
.
Entah bagaimana mulainya, semenjak smp jenis perlombaan yang kuikuti bukanlah olimpiade mapel eksak, melainkan lomba debatt ilmiah. Yah walaupun namanya ilmiah, tapi ternyata tetap ada jiwa jiwa debater yang tumbuh, fortunately bisa memberikan bobot yang cukup untuk menyembangkn neraca hidupku yang terlalu berat ke bagian "damai, dan pengalah" ini.
Aku sangat senang.
Semua berlanjut hingga SMA. Aku masih bertahan menjadi si offensive phlegmatic. Hal tersebut dipertahankan saat menjadi waka ekstern pushed me to be more offensive (in a good way). Terbiasa menjadi second man di organisasi ini, mendorongku harus paham secara holistik kondisi dan posisi yang sedang kami hadapi. Pemahaman itu yang membuatku percaya diri dengan keputusan yang aku ambil dan bisa menjadi offensive disaat saat yang tepat.
Ibaratnya kalau dalam lomba debat, aku tau side mana yang aku pilih, dan argumen pendukung yang aku butuhkan semua sudah ku pegang.
Tahun berlalu, dan ketika masuk ke masa kuliah ternyata aku benar benar memiliki brand new days. Udah ga ada lagi ekspektasi orang yang bikin aku g boleh missed satu hal pun. Aku bebas define upik seperti apa yang ingin diperankan.
Dan tanpa sadar, alam bawah sadarku ingin membawa upik kembali ke nature nya. Upik yang menghindari konflik, upik yang totally plegmatis sanguinis pun kembali muncul. 5 tahun berlalu, BAAM sepertinya semuanya sudah terlanjur masuk kedalam dnaku. Ditranskripsi dan di translasi menjadi sebuah kode yang ga akan pernah meninggalkan jiwa ini.
Yah sedih sih memang. Aku butuh jiwa offensive ku akhir akhir ini.
But anyway, setelah menulis ini aku sadar, bahwa sebenernya sebenarnya nature seseorang ga akan pernah berubah. Upik yang plegmatis sudah ada dari dulu dan tetap ada hingga sekarang. Hanya saja sepertinya, upik masa SMP dan SMA sepertinya lebih paham tentang apa yang dia jalani saat itu daripada upik saat ini yang sedang meraba apa yang sedang dia lakukan. Jadi kalo dulu berani ngotot pastinya ya karena udah tau mana yang benar dan mana yang salah. Meanwhile sekarang, karena semua hal terasa baru, apabila ada masalah, maka perlu waktu tambahan untuk interlink masalah masalah lain, untuk initial impact assessment, dan lain lain, yang tentu saja harus dilakukan secepat mungkin, dan nyatanya belum bisa secepat itu. Sehingga berakhir menjadi seseorang yang submissive.
Tapi sebenernya, kalau ada niat pasti ada jalan kan? Jadi intinya adalah asalkan mau usaha lebih untuk mengetahui masalah dan kondisi ideal apa yang harus dicapai, maka seplegmatis2nya seseorang, dia akan bisa menjadi offensive jika itu memang dibutuhkan untuk mencapai sebuah kondisi yang peaceful (tentu saja ini tetap tujuan utamanya).
Semoga benih yang pernah tertanam dulu bisa kutemukan, dan menyelamatkan ku di dunia prfsinlism yang kejam ini. hahaahahahahahha.
Desclaimer being phlegmatic and sanguinis is never be an ultimate issue. we just need to adjust the level of tolerance we offer to others :) stay strong fellas
												
0 komentar